Herman Onesimus Lantang |
Di
usianya yang sudah memasuki angka 69, Herman Onesimus Lantang masih
terlihat segar dan bersemangat. Maklum, lelaki Minahasa yang memiliki
sorot mata tajam itu, hingga kini masih betah mengakrabi hobinya di masa
muda: naik gunung. Bahkan bukan saja dalam aktifitas, gaya bicara opa
satu ini masih meledak-ledak, cuek namun egaliter, sebuah sikap khas aktivis pecinta alam.
Herman memang tidak setangkas dulu lagi. Jalannya sekarang agak pelan. Dalam sebuah pendakian beberapa lalu, ia jatuh hingga menyebabkan kaki sebelah kirinya patah. “Ya beginilah gua sekarang, sementara ini kemana-mana harus pake tongkat,”kata mantan Ketua Mahasiswa Pecinta Alam UI dan bekas Ketua Senat Fakultas Sastra UI era 60-an itu.
Banyak orang mengatakan, Herman adalah saksi hidup penting atas peristiwa kematian karibnya Soe Hok Gie di Gunung Semeru tepat 40 tahun lalu. Dan menurutnya, sang demonstran yang juga intelektual muda itu memang persis meninggal di pangkuannya. Karena situasi itu, ia malah sempat dicurigai polisi sebagai “pembunuh” Soe. Bisa jadi itu terkait rumor yang beredar sebelum mereka berangkat ke Semeru yang menyatakan bahwa Soe tengah “diincar” salah satu klik dalam tubuh tentara gara-gara tulisan-tulisannya.
Seperti apa rekontruksi kejadian tragis 40 tahun lalu itu sebenarnya? Lantas apa komentar Herman mengetahui sosok Soe yang kini telah menjadi ikon (bahkan nyaris dikultuskan) oleh sebagian anak muda? Inilah hasil obrolan saya dengan Si Jenderal Kepala Batu (julukan Soe untuk Herman) itu pada Rabu siang kemarin (16/12) di Kampus UI Depok.
Kegiatan anda sekarang apa saja Bang Herman?
Ya macam-macamlah. Sebenarnya tidak ada kegiatan khusus yang gua kerjakan. Paling banter ya gua naik gunung-gunung yang ada di Indonesia khususnya yang ada di Jawa. Selain itu gua juga sering diundang untuk jadi nara sumber soal-soal kepecintaalaman
40 tahun sudah Soe Hok Gie pergi, bagaimana perasaan anda sebagai karibnya menyaksikan anak-anak muda sekarang banyak yang memuja dia?
Jujur aja, gua sangat bangga dengan dia. Gua enggak menyangka, begitu besarnya pengaruh Hok Gie hari ini kepada anak-anak muda. Mungkin karena zaman sekarang informasi begitu cepat bisa didapatkan, bisa lewat film, buku, internet, tv dan lain-lain. Mudah-mudahan saja, mereka (anak-anak muda pengangum Ho Gie) tidak sebatas mengidolakan saja tapi juga bisa mempraktekan apa-apa yang pernah dibuat Hok Gie buat bangsa ini.
Orang tahu Bang Herman itu kawannya Soe, tapi persisnya seperti apa sih persahabatan di antara anda dengan Soe sebenarnya?
Gua sangat dekat dan bisa dikatakan teman karib dengan dia. Tapi untuk urusan politik, gua enggak ikut-ikutan. Jujur saja, gua buta politik. Orang bilang Hok Gie agak “kiri” bahkan komunis, gua enggak tahu dan enggak perduli. Hubungan gua ama dia, sepenuhnya betul-betul soal persahabatan antara dua manusia, bukan soal-soal lain.
Bagaimana bisa anda buta politik, sedangkan pada 1965-1966, anda pernah jadi Ketua Senat Fakultas Sastra UI?
Hahahaha. Ya orang bilang gua ini cuma menang penampilan doang dan bisa meraih banyak massa. Kalau otaknya ya Si Hok Gie itu. Dia banyak back up, saat gua jadi Ketua Senat FS UI.
Dalam buku hariannya (yang kelak diterbitkan dengan judul Catatan Seorang Demonstran), Soe mengakui pamor Herman Lantang di kalangan mahasiswa Fakultas Sastra. Dia menyebut Herman sebagai orang yang dianugerahi penampilan kharismatik.
Kalau Soe jadi otak anda, jangan-jangan selama itu justru Bang Herman “ditunggangi” Soe…
Enggaaaak dong! (nada suaranya meninggi). Lo pikir gua enggak punya prinsip sendiri? Hubungan gua sama Hok Gie itu adalah hubungan yang dilandasi persahabatan dan kepercayaan. Terlebih dalam berbagai soal, gua memiliki pandangan yang sama dengan dia. Enggak ada itu tunggang menunggangi. Gua cocok ama dia, dia cocok ama gua. Itu saja.
Ok. Bang Herman bagaimana komentar anda melihat karib anda itu sekarang telah menjadi “idola” baru?
Gua sih senang-senang saja. Tapi ya jangan keterlaluan. Kalau sudah mengkultuskan, itu yang salah. Gua enggak suka dan gua yakin Soe juga tidak suka. Yang harus ditiru dari Soe itu keberanian, kejujuran, kesederhanaan dan kepintaran dia. Bukan personnya.
Kabarnya waktu detik-detik Soe akan meninggal di Puncak Mahameru, anda adalah sahabat satu-satunya yang ada di dekatnya?
Ya itu kebetulan saja. Dia memang meninggal di pangkuan gua.
Katanya juga gara-gara soal ini, Bang Herman sempat dicurigai oleh Polisi?
Ya pas turun gua sempat dicecar sama 2 perwira polisi. Mereka sempat curiga kematian Soe dan Idhan (Idhan Lubis) sebagai hasil pembunuhan berlatarbelakang konspirasi politik (mengingat aksi-aksi dan tulisan-tulisan Soe yang sarat kritik di koran-koran).
Anda tentu saja menyangkal?
Ya terang dong. Gua bicara keras kepada mereka soal kecurigaan itu. Pembunuhan berlatar belakang konspirasi politik? Gua aja enggak tahu itu jenis binatang apaan?
Mereka percaya?
Gua enggak tahu, tapi mereka berlagak seakan-akan tidak mengerti bahasa Indonesia.Tapi ya akhirnya gua bebas juga dari interogasi.
Terakhir Bang Herman, andaikan Soe masih hidup sekarang, anda yakin dia akan terus konsisten memegang prinsip-prinsipnya?
Gua yakin dia akan melakukannya. Tapi ya itu hidupnya akan seperti Arief (Arief Budiman, kakak Soe Hok Gie yang juga juga intelektual dan mantan demonstran anti korupsi): selalu diasingkan dan hidup terpencil karena selalu mengajak kekuasaan untuk selalu berantem.
Herman memang tidak setangkas dulu lagi. Jalannya sekarang agak pelan. Dalam sebuah pendakian beberapa lalu, ia jatuh hingga menyebabkan kaki sebelah kirinya patah. “Ya beginilah gua sekarang, sementara ini kemana-mana harus pake tongkat,”kata mantan Ketua Mahasiswa Pecinta Alam UI dan bekas Ketua Senat Fakultas Sastra UI era 60-an itu.
Banyak orang mengatakan, Herman adalah saksi hidup penting atas peristiwa kematian karibnya Soe Hok Gie di Gunung Semeru tepat 40 tahun lalu. Dan menurutnya, sang demonstran yang juga intelektual muda itu memang persis meninggal di pangkuannya. Karena situasi itu, ia malah sempat dicurigai polisi sebagai “pembunuh” Soe. Bisa jadi itu terkait rumor yang beredar sebelum mereka berangkat ke Semeru yang menyatakan bahwa Soe tengah “diincar” salah satu klik dalam tubuh tentara gara-gara tulisan-tulisannya.
Seperti apa rekontruksi kejadian tragis 40 tahun lalu itu sebenarnya? Lantas apa komentar Herman mengetahui sosok Soe yang kini telah menjadi ikon (bahkan nyaris dikultuskan) oleh sebagian anak muda? Inilah hasil obrolan saya dengan Si Jenderal Kepala Batu (julukan Soe untuk Herman) itu pada Rabu siang kemarin (16/12) di Kampus UI Depok.
Kegiatan anda sekarang apa saja Bang Herman?
Ya macam-macamlah. Sebenarnya tidak ada kegiatan khusus yang gua kerjakan. Paling banter ya gua naik gunung-gunung yang ada di Indonesia khususnya yang ada di Jawa. Selain itu gua juga sering diundang untuk jadi nara sumber soal-soal kepecintaalaman
40 tahun sudah Soe Hok Gie pergi, bagaimana perasaan anda sebagai karibnya menyaksikan anak-anak muda sekarang banyak yang memuja dia?
Jujur aja, gua sangat bangga dengan dia. Gua enggak menyangka, begitu besarnya pengaruh Hok Gie hari ini kepada anak-anak muda. Mungkin karena zaman sekarang informasi begitu cepat bisa didapatkan, bisa lewat film, buku, internet, tv dan lain-lain. Mudah-mudahan saja, mereka (anak-anak muda pengangum Ho Gie) tidak sebatas mengidolakan saja tapi juga bisa mempraktekan apa-apa yang pernah dibuat Hok Gie buat bangsa ini.
Orang tahu Bang Herman itu kawannya Soe, tapi persisnya seperti apa sih persahabatan di antara anda dengan Soe sebenarnya?
Gua sangat dekat dan bisa dikatakan teman karib dengan dia. Tapi untuk urusan politik, gua enggak ikut-ikutan. Jujur saja, gua buta politik. Orang bilang Hok Gie agak “kiri” bahkan komunis, gua enggak tahu dan enggak perduli. Hubungan gua ama dia, sepenuhnya betul-betul soal persahabatan antara dua manusia, bukan soal-soal lain.
Bagaimana bisa anda buta politik, sedangkan pada 1965-1966, anda pernah jadi Ketua Senat Fakultas Sastra UI?
Hahahaha. Ya orang bilang gua ini cuma menang penampilan doang dan bisa meraih banyak massa. Kalau otaknya ya Si Hok Gie itu. Dia banyak back up, saat gua jadi Ketua Senat FS UI.
Dalam buku hariannya (yang kelak diterbitkan dengan judul Catatan Seorang Demonstran), Soe mengakui pamor Herman Lantang di kalangan mahasiswa Fakultas Sastra. Dia menyebut Herman sebagai orang yang dianugerahi penampilan kharismatik.
Kalau Soe jadi otak anda, jangan-jangan selama itu justru Bang Herman “ditunggangi” Soe…
Enggaaaak dong! (nada suaranya meninggi). Lo pikir gua enggak punya prinsip sendiri? Hubungan gua sama Hok Gie itu adalah hubungan yang dilandasi persahabatan dan kepercayaan. Terlebih dalam berbagai soal, gua memiliki pandangan yang sama dengan dia. Enggak ada itu tunggang menunggangi. Gua cocok ama dia, dia cocok ama gua. Itu saja.
Ok. Bang Herman bagaimana komentar anda melihat karib anda itu sekarang telah menjadi “idola” baru?
Gua sih senang-senang saja. Tapi ya jangan keterlaluan. Kalau sudah mengkultuskan, itu yang salah. Gua enggak suka dan gua yakin Soe juga tidak suka. Yang harus ditiru dari Soe itu keberanian, kejujuran, kesederhanaan dan kepintaran dia. Bukan personnya.
Kabarnya waktu detik-detik Soe akan meninggal di Puncak Mahameru, anda adalah sahabat satu-satunya yang ada di dekatnya?
Ya itu kebetulan saja. Dia memang meninggal di pangkuan gua.
Katanya juga gara-gara soal ini, Bang Herman sempat dicurigai oleh Polisi?
Ya pas turun gua sempat dicecar sama 2 perwira polisi. Mereka sempat curiga kematian Soe dan Idhan (Idhan Lubis) sebagai hasil pembunuhan berlatarbelakang konspirasi politik (mengingat aksi-aksi dan tulisan-tulisan Soe yang sarat kritik di koran-koran).
Anda tentu saja menyangkal?
Ya terang dong. Gua bicara keras kepada mereka soal kecurigaan itu. Pembunuhan berlatar belakang konspirasi politik? Gua aja enggak tahu itu jenis binatang apaan?
Mereka percaya?
Gua enggak tahu, tapi mereka berlagak seakan-akan tidak mengerti bahasa Indonesia.Tapi ya akhirnya gua bebas juga dari interogasi.
Terakhir Bang Herman, andaikan Soe masih hidup sekarang, anda yakin dia akan terus konsisten memegang prinsip-prinsipnya?
Gua yakin dia akan melakukannya. Tapi ya itu hidupnya akan seperti Arief (Arief Budiman, kakak Soe Hok Gie yang juga juga intelektual dan mantan demonstran anti korupsi): selalu diasingkan dan hidup terpencil karena selalu mengajak kekuasaan untuk selalu berantem.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar